Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain dalam Pandangan Islam
Author:Musyaffa Ahmad Rohim, Lc
Dari Abî Hurairah –radhiyallâhu ‘anhu- ia
berkata: “Rasulullâh – shallallâhu ‘alaihi wa sallam – bersabda: ‘Siapa menipu
dan merusak (hubungan) seorang hamba sahaya dari tuannya, maka ia bukanlah
bagian dari kami, dan siapa yang merusak (hubungan) seorang wanita dari
suaminya, maka ia bukanlah dari kami’”. [Hadîts shahîh diriwayatkan oleh Ahmad,
Al-Bazzâr, Ibn Hibbân, Al-Nasâ-î dalam al-Kubrâ dan Al-Baihaqî].
Teks Hadîts
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam –
bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (( مَنْ خَبَّبَ عَبْدًا عَلَى أَهْلِهِ فَلَيْسَ مِنَّا، وَمَنْ أَفْسَدَ اِمْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا )) [حديث صحيح رواه أحمد والبزار وابن حبان والنسائي في الكبرى والبيهقي]
Takhrîj Hadîts
Hadîts ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Al-Musnad [juz 2, hal. 397], Al-Bazzâr [lihat Mawârid al-Zham’ân juz 1, hal.
320], Ibn Hibbân dalam shahîh [juz 12, hal. 370], Al-Nasâ-î dalam Al-Sunan
al-Kubrâ [juz 5, hal. 385], dan Al-Baihaqî dalam Al-Sunan al-Kubrâ [juz 8, hal.
13], juga dalam Syu’abu al-Îmân [juz 4, hal. 366, juz 7, hal. 496].
Syekh Nâshir al-Dîn al-Albânî menilai hadîts
ini sebagai hadîts shahîh [Silsilah al-Ahâdîts al-Shahîhah hadîts no. 325].
Kandungan Hadîts
Secara garis besar hadîts ini berisi kecaman
keras terhadap dua perbuatan, yaitu:
1. Mengganggu seorang pelayan, atau pembantu
atau budak yang telah bekerja pada seorang tuan, sehingga hubungan di antara
pelayan dan tuannya menjadi rusak, lalu sang pelayan pergi meninggalkan
tuannya, atau tuannya memecat dan mengusir sang pelayannya.
2. Mengganggu seorang wanita yang berstatus
istri bagi seorang lelaki, sehingga hubungan di antara suami istri itu menjadi
rusak, lalu sang istri itu meminta cerai dari suaminya, atau sang suami
menceraikan istrinya.
Bentuk-Bentuk Gangguan dan Tindakan Merusak
Ada beragam bentuk dan cara seseorang merusak
hubungan diantara suami istri, di antaranya adalah:
1. Berdoa dan memohon kepada Allâh –subhânahu
wa ta’âlâ- agar hubungan seorang wanita dengan suaminya menjadi rusak dan
terjadi perceraian di antara keduanya.
2. Bersikap baik, bertutur kata manis dan
melakukan berbagai macam tindakan yang secara lahiriah baik, akan tetapi,
menyimpan maksud merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya (atau
sebaliknya). Perlu kita ketahui terkadang sihir itu berupa tutur kata yang
memiliki kemampuan “menghipnotis” lawan bicaranya. Rasulullâh –shallallâhu
‘alahi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari sebuah penjelasan atau
tutur kata itu adalah benar-benar sihir”. (H.R. Bukhârî dalam al-Adab
al-Mufrad, Abû Dâwud dan Ibn Mâjah. Syekh Albânî menilai hadîts ini sebagai
hadîts hasan [silsilah al-ahâdîts al-shahîhah, hadîts no. 1731]).
3. Memasukkan bisikan, kosa kata yang bersifat
menipu dan memicu, serta memprovokasi seorang wanita agar berpisah dari
suaminya (atau sebaliknya), dengan iming-iming akan dinikahi olehnya atau oleh
orang lain, atau dengan iming-iming lainnya. Perbuatan seperti ini adalah
perbuatan tukang sihir dan perbuatan syetan (Q.S. Al-Baqarah: 102). Rasulullâh
–shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya Iblis menempatkan
singgasananya di atas air, lalu menyebar anak buahnya ke berbagai penjuru, yang
paling dekat dengan sang Iblis adalah yang kemampuan fitnahnya paling hebat di
antara mereka, salah seorang dari anak buah itu datang kepadanya dan melapor
bahwa dirinya telah berbuat begini dan begitu, maka sang Iblis berkata: ‘kamu
belum berbuat sesuatu’, lalu seorang anak buah lainnya datang dan melapor bahwa
dia telah berbuat begini dan begitu sehingga mampu memisahkan antara seorang
suami dari istrinya, maka sang Iblis menjadikan sang anak buah ini sebagai
orang yang dekat dengannya, dan Iblis berkata: ‘tindakanmu sangat bagus
sekali’, lalu mendekapnya”. (H.R. Muslim [5032]).
4. Meminta, atau menekan secara terus terang
agar seseorang wanita meminta cerai dari suaminya atau agar seorang suami
menceraikan istrinya dengan tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak halal bagi seorang
wanita meminta (kepada suaminya) agar sang suami mencerai wanita lain (yang
menjadi istrinya) dengan maksud agar sang wanita ini memonopli ‘piringnya’,
sesungguhnya hak dia adalah apa yang telah ditetapkan untuknya”. (Hadîts muttafaq
‘alaih).
Bentuk-bentuk seperti ini sangat tercela, dan
termasuk dosa besar jika dilakukan oleh seseorang kepada seorang wanita yang
menjadi istri orang lain, atau kepada seorang lelaki yang menjadi suami orang
lain.
Dan hal ini semakin tercela lagi jika
dilakukan oleh seseorang yang mendapatkan amanah atau kepercayaan untuk
mengurus seorang wanita yang suaminya sedang pergi atau sakit dan semacamnya.
Sama halnya jika dilakukan oleh seorang wanita yang mendapatkan amanah atau
kepercayaan untuk mengurus keluarga seorang lelaki yang istrinya sedang pergi
atau sakit dan semacamnya.
Rasulullâh –shallallâhu ‘alaihi wa sallam-
bersabda: “Keharaman wanita (istri yang ditinggal pergi oleh) orang-orang yang
berjihad bagi orang-orang yang tidak pergi berjihad (yang mengurus keluarga
mujahid) adalah seperti keharaman ibu-ibu mereka, dan tidak ada seorang lelaki
pun dari orang-orang yang tidak pergi berjihad yang mengurus keluarga
orang-orang yang pergi berjihad, lalu berkhianat kepada orang-orang yang pergi
berjihad, kecuali sang pengkhianat ini akan dihentikan (dan tidak diizinkan
menuju surga) pada hari kiamat, sehingga yang dikhianati mengambil kebaikan
yang berkhianat sesuka dan semaunya”. (H.R. Muslim [3515]).
Salah satu bentuk pengkhianatan yang dimaksud
dalam hadîts Muslim ini adalah merusak hubungan keluarga sang mujahid, sehingga
bercerai dari suaminya.
Bentuk pengkhianatan yang lebih besar lagi
adalah –na’ûdzu billâh min dzâlik- berzina dengan keluarga sang mujahid.
Termasuk dalam pengertian mujahid ini adalah
seseorang yang mendapatkan tugas dakwah, atau menunaikan ibadah haji atau
umrah, atau bepergian yang mubah, lalu menitipkan urusan keluarganya (istri dan
anak-anaknya) kepada orang lain. Dalam hal ini, jika yang mendapatkan amanah
berkhianat, maka, ia termasuk dalam ancaman hadîts Muslim ini.
Mirip-mirip dengan hal ini adalah jika ada
seseorang yang karena kapasitasnya, mungkin karena ia adalah seorang tokoh,
atau pimpinan sebuah organisasi atau kiai, atau ustadz, atau semacamnya yang
diamanahi untuk mendamaikan hubungan suami istri orang lain yang sedang rusak
atau terancam rusak, akan tetapi, ia malah mengkhianati amanah ini.
Hukum Merusak Rumah Tangga Orang Lain
a. Hukum Ukhrawî
Para ulama’ bersepakat bahwa hukum mengganggu
dan merusak hubungan sebagaimana dimaksud dalam hadîts nabi di atas adalah
haram (lihat al-mausû’ah al-fiqhiyyah, pada bâb takhbîb), maka siapa saja yang
melakukannya, maka ia mendapatkan dosa dan diancam siksa di neraka.
Bahkan Imam Al-Haitsamî mengkategorikan
perbuatan dosa ini sebagai dosa besar.
Dalam kitabnya Al-Zawâjir ‘an Iqtirâf
al-Kabâir beliau menyebutkan bahwa dosa besar yang ke 257 dan 258 yaitu merusak
seorang wanita agar terpisah dari suaminya dan merusak seorang suami agar
terpisah dari istrinya.
Alasannya, hadîts nabi –shallallâhu ‘alaihi wa
sallam – di atas menafikan pelaku perbuatan merusak ini dari bagian umat
beliau, dan ini terhitung sebagai ancaman berat. Juga para ulama’ sebelumnya,
secara sharîh (jelas) mengkategorikannya sebagai dosa besar. (lihat Al-Zawâjir
juz 2, hal. 577).
b. Hukum Duniawî
Ada dua hukum duniawi terkait dengan hadits
ini, yaitu:
1. Jika ada seorang lelaki yang merusak
hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang wanita itu meminta cerai dari
suaminya, dan sang suami mengabulkannya, atau jika ada seorang lelaki merusak
hubungan seorang wanita dari suaminya, lalu sang suami marah dan menceraikan
istrinya, lalu sang lelaki yang merusak ini menikahi wanita tersebut, apakah
pernikahannya sah?
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa pernikahan
sang lelaki perusak dengan wanita korban tindakan perusakannya adalah sah.
Alasannya adalah karena wanita tersebut tidak secara eksplisit terhitung
sebagai muharramât (wanita-wanita yang diharamkan baginya).
Namun, ulama’ Mâlikiyyah memiliki pendapat
yang berbeda dengan Jumhur. Mereka berpendapat bahwa pernikahan yang terjadi
antara seorang lelaki perusak dengan wanita yang pernah menjadi korban tindakan
perusakannya harus dibatalkan, baik sebelum terjadi akan nikah di antara
keduanya atau sudah terjadi. Alasan Mâlikiyyah dalam hal ini adalah:
i. Demi menerapkan hadîts yang menjadi kajian
kita kali ini.
ii. Agar tidak menjadi preseden buruk bagi
munculnya kasus-kasus lain yang serupa, demi menjaga keutuhan rumah tangga kaum
muslimin.
iii. Hal ini terhitung dalam kategori kaidah
fiqih: man ta’ajjala syai-an qabla awânihi ‘ûqiba bihirmânihi (siapa yang
terburu-buru mendapatkan sesuatu sebelum saatnya, maka ia dihukum dengan tidak
diperkenankan mendapatkan sesuatu itu). Kaidah ini pada asalnya berlaku bagi
seseorang yang melamar dengan kata-kata sharîh seorang wanita yang masih dalam
masa iddah (tunggu) pasca kematian suaminya. (Q.S. Al-Baqarah: 235). Logikanya,
jika melamar dengan kata-kata sharîh terhadap seorang wanita yang masih dalam
masa iddah karena kematian suaminya saja tidak dibenarkan, padahal dalam hal
ini tidak ada aspek perusakan yang berakibat terciptanya perceraian wanita itu
dari suaminya (karena memang suaminya telah meninggal), maka, jika ada
seseorang yang merusak seorang wanita yang masih bersuami, sehingga tercipta
perceraian wanita itu dari suaminya, hukumnya tentunya lebih berat daripada
yang dimaksud dalam kaidah fiqih ini. Untuk itulah, jika akan terjadi
pernikahan antara sang lelaki perusak hubungan dengan wanita “korban” tindakan
perusakannya, maka, hal ini harus dicegah, dan jika sudah kadung terjadi
pernikahan di antara keduanya, maka, pernikahan itu harus dibatalkan.
Yang lebih menarik lagi dari pendapat
Mâlikiyyah ini adalah: ada sebagian dari ulama’ Mâlikiyyah yang berpendapat
bahwa wanita “korban” tindakan perusakan seorang lelaki, menjadi haram
selamanya bagi sang lelaki perusak tersebut.
Perbedaan pendapat ini kami sebutkan di sini
sebagai peringatan keras bagi siapa saja agar tidak melakukan perbuatan seperti
ini, walaupun, secara hukum fiqih, pendapat Jumhur lebih kuat, akan tetapi,
pendapat Mâlikiyyah, perlu kita jadikan sebagai cambuk peringatan.
2. Jika ada seseorang yang melakukan perbuatan
terlarang ini, adakah ia perlu mendapatkan hukuman di dunia?
Para ulama’ berpendapat bahwa perbuatan
terlarang seperti ini, jika ada yang melakukan, maka hakim berwewenang
menjatuhkan ta’zîr (hukuman yang ketentuannya ditetapkan oleh hakim atau
penguasa) dengan syarat tidak melebihi bobot 40 cambukan.
Di antara mereka ada yang berpendapat,
hukumannya adalah kurungan penjara sampai ia menyatakan tobat atau meninggal
dunia (sebagian penganut Mazhab Hanafî)
Di antara mereka ada yang berpendapat, cukup
diberi cambukan keras saja, dipublikasikan perbuatannya, agar orang waspada
darinya dan agar orang lain mengambil ibrah (sebagian penganut madzhab
Hanbalî).
Catatan Lain
Ada satu hal yang menarik untuk dicatat di
sini, yaitu tentang sikap para ulama’ saat menyebutkan hadîts ini.
Sebagian mereka mencantumkan hadîts yang
sedang kita kaji ini dalam bab “orang yang merusak hubungan suami istri”, tanpa
embel-embel ancaman dalam kalimat babnya. Seperti yang dilakukan oleh Imam
Al-Nasâ-î dan Al-Bazzâr.
Akan tetapi, ada sebagian dari mereka yang
mencantumkan hadîts yang sedang kita kaji ini dalam bab yang mengandung kalimat
ancaman, seperti: al-zajr (penjelasan untuk membuat jera), al-tasydîd
(peringatan keras), sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Ibn Hibbân dan Imam
Al-Baihaqî.
Yang menarik adalah ada sebagian ulama’ yang
mengkategorikan hadîts ini ke dalam bab makar dan tipu daya, sebagaimana yang
dilakukan oleh kitab kanz al-’Ummâl.
Semoga kita semua terhindar dari perbuatan
yang sangat tercela ini, amin.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar